Sabtu, 14 Januari 2012

KONSELING BEHAVIORAL


2.1 Pandangan Teori Behaviorial Tentang Sifat Manusia
Marquis (1974) menyatakan bahwa terapi tingkah laku itu mirip keahlian teknik dalam arti ia menerapkan informasi-informasi ilmiah guna menemukan pemecahan-pemecahan teknis atas masalah-masalah manusia. Behaviorisme berfokus pada bagaimana orang-orang belajar dan kondisi-kondisi apa saja yang menentukan tingkah laku manusia.
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menyingkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia sering kali didistorsi oleh penguraian yang terlampau menyederhanakan tentang individu sebagai bidak nasib yang tidak berdaya yang semata-mata ditentukan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan dan keturunan dan dikerdilkan menjadi sekedar organisme pemberi respons.
Konseling behavior berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu :
a. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.

b. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.

c. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
d. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinyapun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Nye (1975), dalam pembahasannya tentang behaviorisme radikal-nya B.F. Skinner, menyebutkan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia sebagai dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pandangan ini tidak memberi tempat kepada asumsi yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pilihan dan kebebasan. Filsafat behavioristik radikal menolak konsep tentang individu sebagai agen bebas yang membentuk nasibnya sendiri. Situasi-situasi dalam dunia objektif masa lampau dan hari ini menentukan tingkah laku. Jadi, lingkungan adalah pembentuk utama keberadaan manusia.
Pandangan para behavioris  juga menganggap manusia sama saja, tidak ada yang baik dan tidak ada yang jahat. Semasa lahirnya mereka adalah sama, masing-masing mempunyai potensi seimbang ke arah menjadi sama ada baik ataupun jahat. Hasilnya, ahli-ahli teori tingkah laku tidak sepenuhnya memberikan definisi tabiat asas kemanusiaan itu yang boleh membantu teori-teori mereka sendiri. Bagaimanapun, Dustin dan George menyenaraikan empat andaian berhubung dengan tabiat kemanusiaan dan bagaimana manusia berubah yang menjadi inti kepada konseling tingkah laku itu sendiri, diantaranya adalah :
  1. Manusia itu dilihat sebagai manusia biasa, tidak ada yang sepenuh-penuhnya jahat atau sepenuh-penuhnya baik, tetapi adalah sebagai organisme berpengalaman yang mempunyai potensi kepada semua jenis tingkah laku.
  2. Manusia berkeupayaan memahami konsep serta mengawal tingkah lakunya sendiri.
  3. Manusia berupaya memperoleh  tingkah lakunya yang baru.
  4. Manusia mempunyai keupayaan untuk mempengaruhi tingkah laku lain sebagaimana ia dipengaruhi oleh orang lain terhadap tingkah lakunya sendiri.
Bagi konselor tingkah laku, individu adalah hasil daripada pengalaman. Ahli-ahli tingkah laku melihat tingkah laku yang salah terima itu sebagai makhluk yang mempelajari tingkah lakunya, perkembangan dan pembaikannya adalah sama dengan sebarang tingkah laku lain. Satu implikasi daripada pandangan ini ialah tidak adanya tingkah laku yang salah terima bagi diri mereka itu. Selain itu sesuatu tingkah laku itu menjadi wajar disebabkan seseorang itu menganggapnya tidak begitu. Setengah-setengah tingkah laku mungkin dianggap wajar di rumah, tetapi tidak wajar di sekolah, begitu juga sebaliknya.
2.2 Dasar Teori Terapi Tingkah Laku (Behavioral)
Dasar teori terapi behavioral adalah bahwa perilaku dapat dipahami sebagai hasil kombinasi : (1) belajar waktu lalu dalam hubungannya dengan keadaan yang serupa; (2) keadaan motivasional sekarang dan efeknya terhadap kepekaan terhadap lingkungan; (3) perbedaan-perbedaan baik secara genetik atau karena gangguan fisiologik. Dengan eksperimen- eksperimen terkontrol secara seksama maka menghasilkan hukum-hukum yang mengontrol perilaku tersebut.
Dalam hal ini Skinner walaupun dipengaruhi teori S-R, tetapi dia punya pandangan tersendiri mengenai perilaku, yaitu:
1.      Respon tidak perlu selalu ditimbulkan oleh stimulus, akan tetapi lebih kuat oleh pengaruh reinforcement (penguatan).
2.       Lebih menekankan pada studi subjek individual ketimbang generalisasi kecenderungan kelompok.
3.      Menekankan pada penciptaan situasi tertentu terhadap terbentuknya perilaku ketimbang motivasi didalam diri. 





Terapi tingkah laku berdasarkan pada teori kepribadian karena dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya adalah perilaku yang dapat dijelaskan dibawah ini :

A. Teori Kepribadian
Hakekat dari kepribadian manusia adalah perilakunya yang dibentuk berdasarkan hasil pengalaman. Pengalaman tersebut diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungannya. Tidak ada manusia yang sama, karena kenyataannya manusia memiliki pengalaman yang berbeda dalam kehidupannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya.
Kepribadian dapat dipahami dengan mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannnya yang terus menerus dengan lingkungannya. Dengan demikian kepribadian dalam pandangan behavioris merupakan cerminan dari pengalamannya akibat proses belajar. Adapun beberapa teori belajar dari behavioris tentang mekanisme modifikasi perilaku anatara lain:

1. Teori belajar klasik (Classical Conditioning)
Eksperimen teori belajar klasik pertama kali dikemukakan oleh Ivan Pavlov dengan anjing sebagai obyek eksperimennya. Dari hasil eksperimen tersebut dapat diketahui bahwa suatu perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara perilaku dengan lingkungannya. Menurut Pavlov, lingkungan merupakan variabel tunggal penentu tingkah laku individu. Adapun klasifikasi lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku antara lain: Unconditioning Stimulus (UCS) yakni stimulus yang tidak dipelajari. Conditioning Stimulus (CS) yakni stimulus yang dikondisikan (dipelajari). menurut Pavlov ada dua hal penting yang perlu memperoleh perhatian, yaitu organisme yang selalu berinteraksi dengqn lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleksi.

 2. Teori belajar operan (Operant Conditioning)
Teori belajar operan ini mula-mula dikemukakan oleh E.L. Thorndike dan kemudian dikembangkan oleh B.F. Skinner. Skinner menyatakan bahwa perilaku individu akan terbentuk, dipertahankan, dikurangi dan dihilangkan jika ada konsekuensi yang menyertainya. Konsekuensi yang dimaksud adalah ganjaran (reinforcement) dan hukuman. Skinner melakukan eksperimennya dengan obyek tikus dan merpati. Dari hasil penelitian tersebut memberi gambaran bahwa perilaku akan terbentuk dan dipertahankan jika diberi ganjaran. Sebaliknya perilaku akan berkurang dan hilang jika diberi hukuman. Secara general menurut Skinner bahwa pribadi manusia dapat mempengaruhi tingkah lakunya melalui manipulasi lingkungan.

3. Teori belajar dengan mencontoh (Observasional Learning)
Teori belajar dengan mencontoh atau meneladani ini dipelopori oleh Albert Bandura yang mengemukakan “social learning theory”. Menurutnya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara pribadi individu, lingkungan dan tingkah laku manusia yang tampak. Sekali lagi yang perlu diingat dari paradigma behavioris adalah interaksi antara individu dengan lingkungannya, sehingga proses belajar dengan mencontoh ini sangatlah berpeluang dalam mempengaruhi tingkah laku individu.
Teori belajar dengan mencontoh ini dapat dilakukan dengan modeling dan vicarious. Modeling merupakan proses belajar individu dengan menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan oleh orang lain sebagai model dengan melibatkan penambahan atau pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Vicarious classical conditioning merupakan modeling yang digabung dengan conditioning classic. Modeling ini digunakan untuk mempelajari respon emosional. Proses vicarious classical conditioning ini dapat dilihat dari kemunculan respon emosional yang sama dalam diri seseorang dan respon tersebut ditujukan ke obyek yang ada didekatnya saat dia mengamati model itu.
Demikianlah ketiga teori belajar yang menjadi dasar pendekatan konseling behavioral. Adapun asumsi-asumsi yang digunakan konselor behavioral dalam menjalankan fungsinya antara lain (Latipun, 200...:95) :
1. Manusia memiliki potensi untuk segala jenis perilaku.
2. Manusia mampu mengkonsepsikan dan mengendalikan perilakunya.
3. Manusia mampu mendapatkan perilaku baru.
4. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi oleh orang lain.

B. Tingkah Laku Bermasalah
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.
Dilihat dari sudut pandang behavioris, perilaku bermasalah dapat dimaknai sebagai perilaku atau kebiasaan yang negatif atau dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Munculnya perilaku bermasalah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: adanya salah penyesuaian melalui proses interaksi dengan lingkungan, adanya pembelajaran yang salah dalam keluarga, lingkungan sekolah, tempat bermain dan lain-lain. Seperti halnya kehidupan di kota-kota besar pada saat ini begitu kompleks dan bervariasi. Sikap hidup menjadi individualistis, egois, apatis dan hubungan sosial menjadi renggang.
 Dalam suasana hidup seperti di atas, banyak orang menggunakan mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri yang negatif. Untuk dapat bertahan dan menghindari kesulitan hidup tidak sedikit terjadi tindakan kriminal. Bentuk mekanisme yang negatif menyebabkan timbulnya tingkah laku yang tidak normal (patologis). Terbentuknya suatu perilaku dikarenakan adanya pembelajaran, perilaku itu akan dipertahankan atau dihilangkan tergantung pada konsekuensi yang menyertainya. Misalnya perilaku merusak (destructif) di kelas dapat bertahan karena adanya ganjaran (reinforcement) berupa pujian dan dukungan dari sebagian teman-temannya dan merasa puas dengan ganjaran itu, sedangkan hukuman (punishment) yang diberikan oleh guru tidak cukup kuat untuk melawan kekuatan ganjaran yang diperolehnya. Perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi jika pemberian ganjaran atau hukuman dapat diberikan secara tepat. Terbentuknya perilaku yang dicontohkan di atas disebabkan karena adanya peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu perilaku dan hal itu termasuk dalam teori belajar perilaku operan dari Skinner. Selain teori belajar Skinner, Bandura juga mencontohkan perilaku agresif di kalangan anak-anak. Timbulnya perilaku bermasalah yang ditandai dengan tindakan melukai atau menyerang baik secara fisik maupun verbal, dikarenakan adanya proses mencontoh atau modeling baik secara langsung yang disebut imitasi atau melalui pengamatan tidak langsung (vicarious). Misalnya anak bersikap agresif karena sering dipukuli atau anak sering melihat orang tuanya bertengkar bahkan lewat media televisi anak dapat mencontoh adegan-adegan yang bersifat kekerasan.
Perilaku yang salah dalam penyesuaian berbeda dengan perilaku normal. Perbedaan ini tidak terletak pada cara mempelajarinya, tetapi pada tingkatannya, yaitu tidak wajar dipandang, dengan kata lain perilaku dikatakan mengalami salah penyesuaian jika tidak selamanya membawa kepuasan bagi individu atau akhirnya membawa individu pada konflik dengan lingkunganya. Rasa puas yang dirasakan bukanlah ukuran bahwa perilaku itu harus dipertahankan, karena boleh jadi perilaku itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentuk pada individu adalah perilaku yang tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan dalam jangka yang lebih panjang.
C. Tujuan Terapi Tingkah Laku
Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidakpuasan yang diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Adapun karakteristik konseling behavioral menurut Corey (1997) dan George dan Cristiani (1990) adalah :
  1. berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik
  2. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling
  3. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien
  4. Penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
Berdasarkan karakteristik ini dapat dipahami bahwa tujuan  dari  terapi tingkah laku dalam konseling adalah :
  1. Mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.
  2. Mengubah perilaku salah dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan, dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
2.3 Teknik-Teknik dan Prosedur Terapi Tingkah Laku

Salah satu kekuatan terbesar dari pendekatan behavior pada konseling  adalah pengembangan dari prosedur terapeutik yang spesifik dan mau menerima adanya penyulingan lewat metode ilmiah. Teknik behavior haruslah efektif lewat sarana objektif, dan terus ada usaha untuk memperbaikinya. Temuan utama yang dihasilkan oleh penelitian terapi behavior adalah hasil akhir dari suatu penanganan adalah memiliki facet ganda. Perubahan itu bukanlah bersifat keseluruhan ataupun tidak ada perubahan sama sekali.
Perbaikan mungkin bisa terjadi pada suatu kawasan tetapi tidak terjadi pada kawasan yang lain. Semua perbaikan tidak muncul secara bersamaan, dan keberhasilan di suatu kawasan mungkin ada kaitannya dengan problema yang muncul di kawasan lain. (Kazdin, 1982: Voltz & Evans, 1982).  Dalam terapi behavior kontemporer teknik apapun dapat ditunjukkan untuk mengubah perilaku yang mungkin dilibatkan dengan rencana penanganan. Lazarus (1980) mendukung penggunaan teknik yang beraneka ragam, tanpa memperhatikan asal teori itu. Diberikan olehnya garis besar rentang teknik yang luas yang telah ia gunakan dalam praktek klinisnya sebagai suplemen dari metode behavior.
Menurut pandangannya, makin ekstensif rentangan teknik terapi itu, secara potensial terapis itu makin efektif. Jelas bahwa terapi behavior tidak harus membatasi diri pada metode yang berasal dari teori belajar. Demikian pula teknik behavior dapat dan dimasukkan dalam kegiatan pendekatan yang lain.
Dalam terapi tingkah laku, teknik-teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-hasilnya bisa di evaluasi. Teknik-teknik ini bias digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantara yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain. Teknik-teknik spesifik yang akan diuraikan di bawah ini bisa diterapkan pada terapi dan konseling individual maupun kelompok.
Teknik-teknik utama terapi tingkah laku, diantaranya adalah :
A.     Desensitisasi sistematik
Desensitisasi sistematik adalah salah satu teknik yang paling luas digunakan dalam terapi tingkah laku. Desensitisasi sistematik digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dan ia menyertakan pemunculan tingkah laku atau respons yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan itu. Desensitisasi diarahkan pada mengajar klien untuk menampilkan suatu respons yang tidak konsisten dengan kecemasan.
Wolpe (1958, 1969), pengembang teknik desensitisasi, mengajukan argument bahwa segenap tingkah laku neurotik adalah ungkapan dari kecemasan dan bahwa respons kecemasan bisa dihapus oleh penemuan respons-respons yang secara intern berlawanan dengan respons tersebut. Dengan pengondisian klasik, kekuatan stimulus penghasil kecemasan bisa dilemahkan, dan gejala kecemasan bisa dikendalikan dan dihapus melalui penggantian stimulus.
            Desensitisasi sistematik juga melibatkan teknik-teknik relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan yang dibayangkan atau yang divisualisasikan. Situasi-situasi dihadirkan dalam suatu rangkaian dari yang sangat tidak mengacam kepada yang sangat mengancam. Tingkatan stimulus-stimulus penghasil kecemasan dan respons kecemasan itu terhapus. Dalam teknik ini, Wolpe telah mengembangkan suatu respons, yakni relaksasi, yang secara fisiologis bertentangan dengan kecemasan yang secara sistematis diasosiasikan dengan aspek-aspek dari suatu yang mengacam.
Desensitisasi sistematik ini merupakan teknik yang cocok untuk menangani phobia-phobia, tetapi keliru apabila menganggap teknik ini hanya bisa diterapkan pada penanganan ketakutan-ketakutan. Desentisasi sistematik bisa diterapkan secara efektif pada berbagai situasi penghasil kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan-ketakuatan yang digeneralisasi, kecemasan-kecemasan yang neurotik, serta impotensi dan frigiditas seksual.
Wolpe (1969) mencatat tiga penyebab kegagalan dalam pelaksanaan desensitisasi sistematik : (1) kesulitan-kesulitan dalam relaksasi, yang bisa jadi menunjuk pada kesulitan-kesulitan dalam komunikasi antara terapis dan klien atau kepada keterhambatan yang ekstrim yang dialami oleh klien, (2) tingkatan-tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, yang ada kemungkinan melibatkan penanganan tingkatan yang keliru, dan (3) ketidakmemadaian dalam membayangkan.
B.     Terapi implosif dan pembanjiran
Teknik-teknik pembanjiran berlandaskan paradigma mengenai penghapusan eksperimental. Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang tanpa pemberian perkuatan. Teknik pembanjiran berbeda dengan teknik desensitisasi sistematik dalam arti teknik pembanjiran tidak menggunakan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan. Terapis memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan klien membayangkan situasi. Dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien.
“Stampfl (1975) mengembangkan teknik yang berhubungan dengan teknik pembanjiran, yang disebut terapi implosif”: Seperti halnya dengan desensitisasi sistematik, terapi implosif berasumsi bahwa tingkah laku neurotik melibatkan penghindaran terkondisi atas stimulus-stimulus penghasil kecemasan. Terapi implosive berbeda dengan desensitisasi sistematik dalam usaha terapis untuk menghadirkan luapan emosi yang massif. Alasan yang digunakan oleh teknik ini adalah bahwa jika seseorang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka kecemasan tereduksi atau terhapus. Klien diarahkan untuk membayangkan situasi-situasi (stimulus-stimulus) yang mengancam. Dengan secara berulang-ulang dan dimunculkan dalam setting terapi dimana konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan menakutkan tidak muncul, stimulus-stimulus yang mengancam kehilangan daya menghasilkan kecemasannya, dan penghindaran neurotik pun terbatas.
C.     Latihan asertif
Pendekatan behavioral yang dengan cepat mencapai popularitas adalah latihan asertif yang bisa diterapkan terutama pada situasi-situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Latihan asertif akan membantu bagi orang-orang yang (1) tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung, (2) menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, (3) memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (4) mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-respons positif lainnya, (5) merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
Latihan asertif menggunakan prosedur-prosedur permainan peran. Terapi kelompok latihan asertif pada dasarnya merupakan penerapan latihan tingkah laku pada kelompok dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal.
D.    Terapi aversi
Teknik-teknik pengondisian aversi, yang telah digunakan secara luas untuk meredakan gangguan-gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat  kemunculannya.
Hal ini dilakukan dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki (simtomatik) tersebut terhambat kemunculannya. Stimulus yang tidak menyenangkan disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
Teknik-teknik aversi adalah metode-metode yang paling kontroversial yang dimiliki oleh para behavioris meskipun digunakan secara luas sebagai metode-metode untuk membawa orang-orang kepada tingkah laku yang diinginkan. Butir yang penting adalah bahwa maksud prosedur-prosedur aversif ialah menyajikan cara-cara menahan respons-respons maladaktif dalam suatu periode sehingga terdapat kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif dan yang akan terbukti memperkuat dirinya sendiri.
E. Pengondisian operan
Tingkah laku operan adalah tingkah laku yang memancar yang menjadi ciri organisme aktif. Ia adalah tingkah laku beroperasi di lingkungan untuk menghasilkan akibat-akibat. Tingkah laku operan merupakan tingkah laku yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup membaca, berpakaian, makan dengan alat-alat makan, bermain dan sebagainya.
Menurut Skinner (1971), juka suatu tingkah laku diganjar, maka probabilitas kemunculan kembali tingkah laku tersebut di masa mendatang akan tinggi. Prinsip perkuatan yang menerangkan pembentukan, pemeliharaan, atau penghapusan pola-pola tingkah laku, merupakan inti dari pengondisian operan.
F.     Pembentukan perilaku model
Perilaku model digunakan untuk : (1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2) memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran berupa pujian sebagai ganjaran social.
G.    Kontrak perilaku
Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa membantu klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Dalam hal ini individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien. Dalam terapi ini ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tidak berhasil.